Terbentuknya Dinasti Abbasiyah dilatar belakangi oleh terjadinya banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara, terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam saat Menjelang tumbangnya Dinasti Umayah .
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
- Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
- Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
- Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
- Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang terang-terangan.
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.
Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran. Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar. Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia. - Masa Pemerintahan Bani Abbas
Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: العبّاسدين, al-Abbāsidīn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa diBaghdad (sekarang ibu kota Irak). Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw yaitu keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652) yang juga merupakan paman dari Nabi Muhammad, oleh karena itu mereka termasuk ke dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu kabilah dalam Quraisy, bukan termasuk yang seketurunan dengan Nabi. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[1] Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah dari semua kecuali Andalusia.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu[2]:
Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)
Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode ini, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Walaupun demikian pada periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Periode Kedua(232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)
Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk mengontrol kekhalifahannya Al-Ma’mun bergantung kepada dukungan Tahir, seorang bangsawan Khurasan yang sebagai imbalan diangkat sebagai gubernur di Khurasan (820-822) dan jenderal bagi seluruh pasukan Abbasiyah dengan janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh keturunannya. Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata yaitu; pasukan syakiriyah yang dipimpin oleh pemimpin lokal dan pasukan Gilman yang terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting dicatat disini adalah kalau pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat dukungan militer dari rakyatnya sendiri, pada masa kemunduran ini mereka bergantung kepada pasukan asing untuk dapat berkuasa atas rakyatnya sendiri, sehingga pemerintahan pusat menjadi lemah. .Masa-masa berikutnya sampai kedatangan kekuatan Bani Buwaih.
Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)
Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Abu Syuja’ Buwaih adalah seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya : Ali (‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah) merupakan pendiri dinasti Bani Buwaih. Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi kemudian berpindah ke kubu Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian barat dan barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jenderal Tuzun (penguasa sebenarnya atas Baghdad) Ahmad memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani Buwaih atas khalifah Abbasiyah.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah Persia, bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan-lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.
Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)
Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah atau disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua. Saljuk (Saljuq) ibn Tuqaq adalah seorang pemimpin kaum Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnnya Transoxania atau Ma Wara’ al-Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq yang memulai penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun 429/1037 ia tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya makin bertambah luas dari tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas Baghdad.
- Masa keemasan Dinasti Abbasiyah
Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.[3]
Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Pada masa itu, Bagdad menjadi mercusuar kota impian seribu satu malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Disamping itu, keadilan dan kesejahteraan sangat diperhatikan dan selalu diusahakan secara merata. Wilayah kekuasaannya terbentang luas dari Afrika Utara sampai Hindu Kush, India. Kekuatan militernya sangat dikagumi oleh lawan. Hal ini terbukti waktu mengadakan serangan balasan ke Byzantium yang telah mengingkari perjanjianyang telah disepakati sebanyak 6 kali. Dalam serangan ini, seluruh Byzantium termasuk ibu kotanya Konstantinopel dapat ditaklukkan.
Keagungan sejati khalifah Harun Al-Rasyid terletak pada sikap politik damainya yang selalu terlihat. Hal itu sangat besar pengaruhnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Ia mengumpulkan kaum cendekiawan dan para bijak yang mengatur pemerintahan dinasti Abbasiyah. Keadaan dinasti Abbasiyah yang aman membuat para pedagang, saudagar, kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan di seluruh wilayahnya yang sangat luas itu, membuktikan juga betapa baik dan betapa kuatnya pemerintahan Harun Al-Rasyid. Masjid, Perguruan Tinggi, Sekolah, Rumah Sakit, dan sebagainya didirikan. Semua itu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya.[4]
- Kemajuan Pada Masa Abbasiyah
Masa pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan baik aqli rasional ataupun yang naqli mengalami kemajuan dengan pesatnya. Pada masa dinasti ini, proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa Yunani, Romawi, dan Persia serta sumber dari berbagai naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan Mesir.
Pada masa ini, pusat-pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya Masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut Halaqat Al Jadl, Halaqat Al Fiqh, Halaqat Al-tafsir wal Hadits, Halaqat Al-Riyadiyat, Halaqat lil Syi’ri wal Adab, dll. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke pertemuan itu. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pada permulaan dinasti Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya baru lembaga-lembaga non-formal yang disebut “Ma’ahid”. Baru pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid didirikan lembaga pendidikan formal seperti “Darul Hikmah” yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al-Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para sarjana dan para ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan dinasti Abbasiyah.
Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pesat yaitu:
a) Ilmu Tafsir
Perkembangan ilmu tafsir pada masa dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan dengan pesat. Tafsir pada zaman ini terdiri dari Tafsir Bil Ma’tsur, yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan hadits-hadits nabi dan Tafsir Bil Ra’yi, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran.
Diantara para ahli Tafsir bil Ma’tsur adalah:
· ·Ibnu Jarir Al-Thabary
· ·Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy
· ·As Sudai yang mendasarkan tafsirnya kepada Ibnu Abba dan Ibnu Mas’ud
· Muqatil bin Sulaiman yang tafsirnnya terpengaruh oleh kitab Taurat
· Muhammad bin Ishak, dalam tafsirnya banyak mengutip cerita israiliyat
Adapun para ahli Tafsir bil Ra’yi adalah:
· Abu Bakar Asam (Mu’tazilah)
· Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany (Mu’tazilah)
· Ibnu Jaru Al-Asady (Mu’tazilah)
· Abu Yunus Abdussalam (Mu’tazilah)
b) Ilmu Hadits
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah muncullah ahli-ahli hadits yang ternama, antara lain:
· Imam Bukhari, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abil Hasan Al_Bukhari. Lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat tahun 256 di Baghdad, karyanya antara lain: Shahih Bukhary (Al-Jamius Shahih).
· Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qushairy Al-Naishabury, wafat 261 H di Naishabury. Karyanya yang terkenal adalah Shahih Muslim (Al-Jamius Shahih).
· Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
· Abu Daud, karyanya Sunan Abu Daud.
· Al-Nasai, karyanya Sunan AL-Nasai, dll.
c) Ilmu Kalam
Ilmu kalam lahir karena dua sebab, yaitu:
· Karena musuh Islam ingin melumpuhkan Islam dengan mempergunakan filsafat pula.
· Hampir semua masalah, termasu masalah agama telah berkisar pada pola rasa kepada pola akal dan ilmu.
Diantara pelopor dan ahli ilmu kalam adalah: Washil bin Atha, Abu Huzail Al-Allaf, Ad-Dhaham, Abul Hasan Al-Asy’ary dan Imam Ghazali.
d) Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf adalah ilmu syariat. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan atau menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia dan bersembunyai diri beribadah. Dalam ilmu tasawuf terdapat Rabi'ah Al- Adawiyah, Ibnu 'Arabi, Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid Al-Bustami.
e) Ilmu Bahasa
Ilmu bahasa adalah Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, Arudl, dll. Ilmu bahasa pada masa dinasti Abbasiyah berkembang dengan pesat karena bahasa Arab yang semakin berkembang memerlukan ilmu bahasa yang menyeluruh. Kota Basrah dan Kufah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa (Ilmu Lughah).
f) Ilmu Fiqih
Para fuqaha yang terkenal, yaitu:
· Imam Abu Hanifah, karyanya Fiqhu Akbar, AL-Alim wal Mutaan, dll.
· Imam Malik, karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha.
· Imam Syafi’I, karyanya yang terkenal adalah Al Um, Ushul Fiqh.
· Imam Ahmad bin Hanbal, karyanya yang terkenal adalah Musnad, yang memuat 2800 sampai 2900 hadits Nabi.
Disamping ilmu-ilmu Naqli yang mengalami kemajuan pesat, ikut berkembang pula ilmu-ilmu Aqli (rasional), seperti: Ilmu Kedokteran. Ilmu kedokteran mulai berkembang dengan pesat pada masa akhir dinasti Abbasiyah I, sedangkan puncaknya pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah II, III, IV. Dinasti Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan. Banyak dokter asing yang dipakai untuk praktek dan guru, begitu juga rumah sakit besar dan sekolah tinggi kedokteran banyak sekali didirikan. Diantara para dokter yang terkenal, yaitu:
· Abu Zakaria Yuhana bin Masiwaih, seorang ahli farmasi di rumah sakit Yundishapur.
· Sabur bin Sahal, direktur rumah sakit Yundishapur.
· Abu Zakaria Al-Razy, kepala para dokter rumah sakit Baghdad.
· Ibnu Sina, karyanya yang terkenal adalah al Qanun fi al Thibb.
Dalam bidang filsafat antara lain tercatat Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang sains ada Al-Farghani, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Umar Khayyam dan Al-Thusi. Di bidang ilmu kimia terkenal nama Ibnu Hayyan. Di bidang optika ada Ibnu Haytsam. Di bidang geografi ada Al-Khawarizmi, Al-Ya'qubi, dan Al-Mus'udi. Dalam bidang ilmu kedokteran hewan ada Al-Jahiz, Ibnu Maskawaihi, dan Ikhwanussafa, Ibnu Sina dan seterusnya yang tidak muat lembaran ini jika diurut satu persatu.
Faktor-faktor pendukung kemajuan IPTEK
a. Mulai banyak didirikan Lembaga-lembaga pendidikan
b. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan
c. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas
2. Kemajuan Dalam Bidang Sosial Ekonomi
a) Perkembangan Sosial
Kehidupan sosial pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari zaman sebelumnya yaitu zaman pemerintahan dinasti Umayyah. Menurut Geroge Zaidan, bahwa masyarakat yang ada pada masa dinasti Abbasiyah terbagi kedalam dua kelas, yaitu:
Kelas Khusus, terdiri dari :
Khalifah, ahli famili khalifah yaitu Bani Hasyim; Para pembesar negara (seperti: menteri, gubernur, panglima, dan para pejabat); Para bangsawan yang bukan Bani Hasyim (seperti: kaum Quraisy pada umumnya); dan Para petugas khusus, anggota tentara, pembantu-pembantu istana.
kelas Umum, terdiri dari :
Para seniman; Para ulama, fuqaha dan pujangga; Para saudagar dan pengusaha; para tukang (industrialis) dan petani.
b) Perkembangan Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan dinasti Abbasiyah, perbendaharaan negara mengalami kemajuan yang sangat hebat. Kas negara selalu penuh, uang masuk lebih banyak dari pada uang yang keluar. Khalifah Al-Manshur benar-benar telah meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara. Keutamaan Al-Manshur dalam menguatkan dasar pemerintahannya dengan ketajaman pikiran, keadilan dan ketegasan. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, sistem perekonomian negara dibangun dengan menggunakan sistem-sistem seperti:
Ekonomi Pertanian
Pada masa dinasti Abbasiyah, pemerintahannya sangat menghargai kaum petani dan meringankan beban pajak hasil bumi mereka dan bahkan terdapat beberapa tempat yang dihapuskan dari beban pajak. Usaha lain yang dilakukan untuk menunjukkan kemajuan ekonomi pertaniannya adalah dengan membuat bendungan dan membangun irigasi, menggali kanal dan pembuatan lahan pertanian baru. Dengan adanya irigasi itu, maka para petani akan lebih mudah untuk menyirami lahan pertaniannya sehingga menjadi subur.
Perindustrian
Para khalifah Abbasiyah tidak saja mementingkan sektor pertanian untuk memajukan perekonomian negara, tetapi juga dengan perhatian yang cukup untuk mengembangkan bidang perindustrian. Kepada seluruh rakyat dianjurkan untuk membangun berbagai industri. Para khalifah juga mempergunakan berbagai sumber tambang untuk diolah menjadi barang jadi seperti emas, perak, perunggu, besi, baja, dll.
Perdagangan
Disamping perhatian yang demikian besar untuk mengembangkan bidang industri dan pertanian, pemerintaha Abbasiyah juga memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi perdagangan. Untuk kearah itu dengan cara membangun sumur-sumur ditempat-tempat istirahat para kafilah dagang, membangun armada-armada dagang untuk melindungi para pedagang dari perampokan bajak laut dan membangun tempat-tempat perdagangan baru. Hubungan perdagangan antar pulau, antar negara dan antar bangsa sangat erat sekali. Ini dilakukan untuk kemajuan perekonomian bangsa itu sendiri. Para pedagang banyak melakukan perjalanan dagang keberbagai negara termasuk ke Cina, India bahkan ke Indonesia.
3. Kemajuan Dalam Bidang Politik Dan Pemerintahan
Untuk mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, maka para Khalifah dinasti Abbasiyah mengambil beberapa kebijaksanaan politik dalam negerinya, yaitu:
a) Kebijaksanaan Politik Terhadap Bani Umayah
Untuk menjaga supaya tidak terjadi gerakan pemberontakan dari keluarga Bani Umayah yang bermaksud mengambil kembali kekuasaan dari pemerintahan dinasti Abbasiyah, maka para khalifah Abbasiyah mengambil suatu tindakan terhadap para pendukung dan keluarga Bani Umayah yang masih tersisa. Kebijaksanaan politik itu menyebabkan banyak diantara para penduduk dan keturunan Bani Umayah melarikan diri ke wilayah Andalusia, Afrika, dll. Ditempat pelarian itu mereka mendirikan pemerintahan baru sebagai tandingan kekuasaan pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad.
b) Kebijaksanaan Politik Terhadap Orang-orang Persia
Dalam kerangka mempertahankan kekuatan politik pemerintahan dinasti Abbasiyah, disamping melakukan kebijaksanaan politik terhadap kelompok dan pendukung Bani Umayah, kelompok “Mawaly” (terutama orang-orang Persia) diberikan kesempatan dalam berbagai bidang pemerintahan. Kedudukan kaum Mawaly ini mendapatkan posisi yang sangat istimewa dalam pemerintahan bani Abbasiyah.
c) Kebijaksanaan Politik Pemerintahan
Perkembangan politik pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyah adalah kemajuan yang dicapai melalui pembentukan beberapa lembaga pemerintahan yang baru, antara lain:
ØPengangkatan Wazir (menteri) sebagai pembantu utama khalifah dalam melancarkan roda pemerintahan.
ØPembentukan Diwanul kitabah (semacam Sekretariat Negara) yang dipimpin oleh Raisul Kitabah (Sekretaris Negara). Raisul Kitabah ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang sekretaris, yaitu: Katibul Rasail (untuk urusan surat menyurat), Katibul Kharraj (untuk urusan pajak/keuangan), Katibul Jundi (untuk urusan tentara/kemiliteran), katibul Qudha (untuk urusan kehakiman), Katibul Syurthan (untuk urusan kepolisian).
ØPembentukan beberapa Departemen sebagai pembantu Wazir, antara lain ialah: Diwanul Kharij (Departemen Luar Negeri), Diwanul Ziman (Departemen Pengawasan Urusan Negara), Diwanul Jundi (Departemen Pertahanan dan Keamanan), Diwanul Akarah (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja), Diwanul Rasail (Departemen Pos dan Telekomunikasi).
ØPengangkatan Amir dan Syeikh Qura
ØPembentukan Angkatan Bersenjata terdiri dari Angkatan darat dan laut.
ØPembentukan Baitul Mal (kas Negara) yang terdiri dari: perbendaharaan Negara (Diwanul Khazanah), urusan hasil bumi (Diwanul Azra’a), urusan perlengkapan tentara (Diwanul Khazainushilah).
ØPembentukan Mahkamah Agung, yang terdiri dari: Al-Qadha (bertugas mengurus perkara-perkara agama, hakimnya disebut Qadhi), Al-Hisbah (bertugas mengurus masalah-masalah umum baik pidana maupun perdata, hakimnya disebut Al-Mustashib), An-Nazhar fil Mazhalim (bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari tingkat Al-Qadha dan Al-Hisbah dan hakimnya disebut Shahibul Mazhalim).
- PETA WILAYAH KEKUASAAN BANI ABBAS
العبّاسدين Kekhalifahan Abbasiyah | |
Wilayah kekuasan terluas Bani Abbasiyah | |
Ibu kota | |
Bahasa | |
Sejarah | |
- Didirikan | 750 |
- Dibubarkan | 1258 |
Pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Bani Ummayah yang telahhancur di Damaskus, meskipun demikian tedapat perbedaan antara kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan Dinasti Bani Ummayah diantaranya adalah:
a. Dinasti Ummayah sangat bersifat arab oriented artinyadalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini.
b. DinastiAbbasiyah disampingbersifat arab murni juga sedikit banyak telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, romawi timur, mesirdansebagainya.
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah luas wilayah kekuasaan islam semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Ummayah antara lain hijaz, yaman utara dan selatan, oman, afganistan dan Pakistan dan meluas sampai ke turki, cina, dan juga india. Sepanjang sejarah islamhanya Dinasti Abbasiyahlah yang mendapat julukan masa keemasan islam, karena dinasti ini dapat memajukan dan menumbuhkan perkembangan peradaban islam hingga mencapai puncaknya.
Kemajuan ini antara lain disebabkan oleh sikap kebijaksanaan para penguasanya serta lebih terbuka dan demokratis dalam mengatasi berbagai persoalan termasuk sikap politiknya.[6]
Pada masa kekuasaan wilayah Daulah Bani Abbasiyah dibagi dalam lima periode antara lain:
1. Periode 1 (132H/750M-232H/847M)
Khalifah Al-Mansur berusaha menaklukkan daerah-daerah yang sebelumnya memisahkan diri dan menetapkan keamanan di daerah perbatasan selama gencatan senjata (758-765) Bizantium membayar upeti tahunan, bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara turki khazar di kaukasus, daylami dilaut kaspia, turki di bagian lain oksussertaindia, akibatnya provinsi-provinsi tertentu di pinggiran melepaskan diri yaitu:
a. Bani ummayah di Andalusia
b. Bani idris (idrisiyah) di maroko
c. Daulah alabiah (banitaqlib) di Tunisia
d. Takiriyah di khurasan
Maka periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama
2. Periode 2 (232H/847M-334H/945M)
Terjadi pemberontakan yaitu :
a. Zany di daratan rendah irak selatan
b. Qaramitah berpusat di Bahrain
Pada periode ini terjadi kemunduran karena luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan sementara komunikasi lambat. Maka periode ini disebut periode pengaruh turki pertama.
3. Periode3 (334H/945M-447H/1055M)
Pusat pemerintahan di syiraz Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan bani buwaihi berkuasa disana (syiah). Bani abbasiyah berada dibawah kekuasaan bani buwaihi khalifahhanya sebagai pegawai yang diatur dan digaji. Maka periode ini disebut periode masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode 4 (447H/1055M-590H/1194M)
Kekuasaan bani saljuk datang karena undangan khalifah untuk melumpuhkan bani buwaihi di bagdad pusat kekuasaan tidak di bagdad mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Maka periode ini disebut masa pengaruh turki kedua.
5. Periode 5 (590H/1194M-656H/1258M)
Khalifah abbasiyah berkuasa di bagdad dan sekitarnya pada masa ini datang tentara mongol dan tartar menghancurkan bagdad tahun 656H/1258M. Masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota bagdad.
Bani abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam daripada perluasan wilayah. Ini perbedaan pokok antara bani abbas dan bani ummayah, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti bani abbas yang tak terdapat di zaman bani ummayah, antara lain:
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan bani abbas menjadi jauh dari pengaruh arab. Sedangkan bani umayah sangat berorientasi kepada arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat bangsa turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
2. Dalam penyelenggaraan Negara pada masa bani abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan bani umayah.
3. Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa pemerintahan bani abbas sebelumnya tidak ada tentara khusus yang professional.[7]
Timbulnya dinasti-dinasti kecil di pusat imperium dan di daerah-daerah sekitarnya merupakan sebab dari keruntuhan rezim Abbasiyah. Khalifah terpecah-belah dalam bagian-bagian kecil, kebanyakan wilayah yang mula-mula ditaklukan ituhanya dalam namanya saja dan cara menyusun administrasi negaranya tidak menuju kepada stabilitas dan persatuan. Selain itu bangkitnya identitas parochial berupa gerakan Syu’ubiyah, juga merupakan factor dominan dari proses disintegrasi.
Dalam hal ini gelagat untuk melakukan disintegrasi oleh Negara bagian “timur” Baghdad semestinya sudah dapat dibaca dari sejak Al-Makmum, bahkan sebelumnya ketika itu sedang terjadi perebutan pengaruh antara komunitas arab versus komunitas Persia. Gejolak ini semakin mengkristal katika imperium bersikap akomodatif terhadap komunitas turki, sehingga komunitas Persia merasa tersaingi, bukans aja oleh dominasi arab tetapi juga kekuatan turki.
Meskipun realitasnya demikian tetapi para khalifah tidak sigap dan sadarakan bahayanya “politikaliran” bahkan diantara mereka ada juga yang justru melibatkan diri dalam konflik dan fraksionisme. Akibatnya selain Negara bagian barat, Negara bagian timur pun ikut-ikutan melepaskan diri dari kekuasaan universal imperium Baghdad diantaranya:[8]
a. Thahiriyyah di khurasan (205-259H/820-872M)
b. Shafariyyah di fars (254-290H/868-901M)
c. Samaniyyah di transoxiana (204-395H/819-1005M)
d. Buwaihiyyah di Persia danirak (320-454H/932-1062M)
e. Dinastiidrisy di maroko (172-375H/788-985M)
f. Dinastiaglaby di tunis (184-296H/800-909M)
g. Dinastiibnutulun di mesir (254-292H)
h. Dinastiikhsyidi di mesir (323-358H)
7. Perang Salib dan Pengaruhnya
Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia.[9]
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan inovasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.[10]
Sebagaimana sebelumnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan.
Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu.
Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
Perang salib terjadi dalam 3 periode
a. Periode pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur.
Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia.
Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidak bersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting, dan kaum Kristen, yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang, amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur, mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan.
Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
b. Periode kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
c. Periode ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick.
Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
8. Sebab-Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
· Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
· Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
· Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Selain factor-faktor yang disebutkan di atas, ada beberapa hal lain yang menyebabkan Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas (Masa Disintegrasi)
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil.
Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
2) Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3) Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya.
Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.
Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
"Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga".
4) Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
[1] Dr. Badri Yatim,MA, Sejarah peradaban islam hal.49
[6] A. Syalabi, Prof. Dr, SejarahdanKebudayaan Islam jilid 3, Al-HusnaZikra, Jakarta, 2000
[7]Dr, Badriyatim, M.A. 2008, SejarahPeradaban Islam DirasahIslamiyah II. Jakarta : PT RoyaGrafindoPersada
[8] ibid
[10] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar