SELAMAT DATANG

"Gotong Royong Merusak negeri"

Persoalan dasar sebuah masyarakat bangsa (socio-nasionalism) adalah melakukan demokrasi kerakyatan/kemasyarakatan (socio-democracy) secara konsekuen. Menggembar-gemborkan persoalan nasionalisme tanpa mampu mendemokrasikan ekonomi (menyejahterakan) adalah percuma. Gampangnya, kampanye kita untuk usir Freeport atau ambil alih ExxonMobil harus menguntungkan bagi rakyat di sekitar Papua, Aceh, Natuna, dan Cepu (Jawa Tengah-Jawa Timur). Jika tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat pekerja, rakyat marhaen, dan rakyat banyak, maka demokrasi menjadi percuma. Percumalah demokrasi politik tanpa diikuti demokrasi ekonomi. Apalagi jika dicurangi.

Para bapak penemu bangsa (Founding Father) telah menyisakan peninggalan sejarah yang berharga bagi rakyat Indonesia di saat ini, hanya sayang pemahaman rakyat terhadap kesejarahan masih lemah. Bung Karno meninggalkan semangat pembebasan nasional yang sangat menggelora bagi kita, sedangkan Bung Hatta meninggalkan semangat demokrasi ekonomi. Sukarno mengajarkan, bahwa sejarah bangsa adalah sejarah yang besar, semenjak zaman Nusantara mengarungi seantero dunia- jadi tidak layak untuk dijajah. Sedangkan Hatta selalu mengingatkan bahwa demokrasi ekonomi adalah penting, maka ia meninggalkan ilmu koperasi. Pembebasan nasional melahirkan kedaulatan Indonesia di mata dunia, sedangkan koperasi memakmurkan rakyatnya. Keduanya adalah penting.


Maka, jika Ketuhanan Berkebudayaan, sosio nasionalisme, dan sosio demokrasi adalah perasan pertama Pancasila menjadi Trisila (baca Pidato Sukarno 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI), maka gotong royong adalah perasan Trisila menjadi Ekasila. Semua bisa dipersatukan dengan gotong royong. Benarkah?

Gotong Royong Korupsi Menhancurkan Negara

Berbicara gotong royong, sekarang kita beranjak ke kasus gotong royong korupsi (pajak) yang sukses menghangatkan negeri ini selama beberapa bulan terakhir. Seperti memang seakan hendak mengalihkan isu Century, kasus gotong royong korupsi Pajak terungkap tiba-tiba setelah tertangkapnya ikan-ikan di "sungai" pajak negara. Pengalih isu, menurut pendapat seberapa kawan.

Tapi ada yang menarik. Ternyata, setelah muncul ikan kecil (small fish) Gayus tambunan, muncul ikan lain yang lebih besar (big fish). Jika kasus Gayus dihembuskan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan SBY yang dipimpin Kuntoro Mangkusbroto, kasus baru yang jauh lebih besar dari kasus Gayus dihembuskan oleh Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro (20/4). Sasmito berani mengungkap sebuah gotong royong korupsi yang bermodus melibatkan para pejabat kelas tinggi, dengan meringankan pajak seorang bos pemilik group Ramayana, Paulus Tumewu. Dengan tanggung jawab terbesar berada pada pundak Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku Menteri Keuangan RI tahun 2005-2006, mengingat surat sakti penghentian penyidikan diberikan olehnya.

Menurut data yang dimiliki APPI, para peserta selain SMI melibatkan para pejabat sebagai berikut: Fadel Muhammad (sewaktu terjadi kasus adalah Gubernur Gorontalo, pelobi dari Paulus Tumewu ke Sri Mulyani), Hadi Utomo (Dirjen Pajak saat itu), Abdur Rahman Saleh (Jaksa Agung waktu itu), Darmin Nasution (pejabat pajak) dan Marsilam Simanjuntak (Tim "serba guna" Kepresidenan). Paulus Tumewu sendiri adalah pengusaha keturunan Sulawesi, adik ipar dari Edi Tansil- buron kelas kakap tahun 90an awal. Luar biasa, ini adalah ikan-ikan besar. The really big fis!

Gotong royong korupsi terjadi karena wilayah hukum abu-abu, semakin diperkuat dengan statemen Presiden SBY untuk tidak mencampuri wilayah hukum. Apakah gotong royong korupsi selaras dengan semangat Pancasila? Maka saya ikut dengan posisi Buya Syafii Maarif yang menyatakan korupsi bertentangan dengan Pancasila. Lebih baik kita gotong royong memberantas korupsi, daripada gotong royong merusak negara.

* (KPP-PRD)

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter