SELAMAT DATANG

Rezim "sby"

Kemampuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan reformasi birokrasi sekarang sedang dipertaruhkan. Sri Mulyani yang telah memulainya di tubuh Departemen Keuangan sejak tahun 2007 silam, saat ini justru sedang mengalami degradasi legitimasi akibat megaskandal kasus Bank Century. Presiden bahkan telah mencanangkan Reformasi Birokrasi ini dua tahun lebih dulu (2005). Bagaimana kenyataannya? Kasus demi kasus yang muncul akhir-akhir ini seperti mafia pajak yang menghebohkan dan mempopulerkan nama Gayus Tambunan, hanya semakin memperkuat kesimpulan bahwa pemerintahan SBY - Boediono telah gagal menciptakan pemerintah bersih dan berwibawa, --sesuatu yang bertentangan juga dengan nilai-nilai Pancasila. Perilaku korup yang diperagakan oleh Polisi, Jaksa, menteri serta jajaran birokrasinya dengan sangat memalukan. Kasus ini membenarkan dugaan, bahwa birokrasi yang dibangun diatas fondasi ekonomi neoliberal sangatlah bobrok. Dibawah kendali Sri Mulyani, Departemen Keuangan kembali mendapat predikat tercela. Kasus Gayus adalah satu poin tambahan untuk sepak terjang Sri Mulyani setelah terseret begitu dalam pada kasus century. Kasus Century sendiri merupakan perempokan terbesar keempat setelah kasus BLBI, kasus Bank Bali dan kasus Bank Indover. Indikator Kegagalan Dalam mengukur keberhasilan sebuah reformasi birokrasi, menurut saya, sedikitnya terdapat empat indikator. Pertama, akuntabilitas pelayanan publik. Dalam perkara ini, pemerintah telah dengan sangat jelas mencetak banyak rapot merah baik dalam bidang akuntabilitas politik (Kasus rekayasa DPT), akuntabilitas finasisal (Kasus Bank Century), maupun akuntabilitas administratif (Kasus Mafia Perpajakan).
Kedua, gagal memberantas korupsi dalam tubuh pada birokrasi. Kasus Century dan Mafia Perpajakan seperti yang dilakukan Gayus, dapat dipastikan melibatkan banyak pihak dalam tubuh departemen keuangan. Kasus Gayus merupakan fenomena gunung es, bahkan saat ini, santer tersiar bahwa ada "Ikan Besar" yang akan tertangkap. Kasus ini memperkuat dugaan bahwa selama ini pajak merupakan pundi-pundi, dimana agen-agen neoliberalisme menumpuk kekayaannya. Maka, tidak berlebihan, ketika awal tahun ini ICW mengeluarkan sebuah sikap skeptis terhadap pemberatasan korupsi, yang menurut mereka, akan berjalan suram pada tahun 2010. Ketiga, ideologisasi aparatus birokrasi. Sebagaimana umum diketahui, korupsi bukan merupakan gejala umum di era Indonesia merdeka, namun merupakan mental dan watak yang terwariskan sejak era feodalisme dan kolonialisme. Perilaku budaya korupsi bukan hanya menjangkiti pelaksanaan penyelenggaraan negara pada level atas, akan tetapi telah menjalar ke semua level hingga pada taraf terkecil seperti Camat, Lurah bahkan RT dan RW. Keempat, peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurut Ketua Umum LMND, Lalu Hilman Afriandi, dalam menjalankan kebijakan pada skala makro ekonomi, seharusnya refomasi birokrasi secara kohesif dapat mengurangi beban ekonomi berbiaya tinggi (dimana tingkat ekonomi biaya tinggi di Indonesia mencapai 20%). Namun, sejak digalakkan oleh Pemerintahan SBY sejak 2005 silam, pertumbuhan ekonomi di Indonesia justru secara konsisten menurun dari 5,6% (tahun 2005), 5,5% (2006), 5,4% (2007) dan 4,3% (2009). Gerakan Amanah Pembayar Pajak Dengan keempat indikator di atas terlihat bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah secara sungguh-sungguh menerapkan reformasi birokrasi. Sejak 2005 pemerintah hanya menjadikan kredo ini sebagai upaya untuk mendistorsi kesadaran masyarakat terhadap buruknya pelayanan publik dan menutupi-nutupi kenyataan bahwa aparatusnya selama ini bukan lah merupakan orang-orang yang profesional dan anak terbaik bangsa, tetapi merupakan aparatus neoliberal yang anti pancasila. Langkah yang diambil oleh pemerintah hingga saat ini belum menunjukkan upaya pencegahan dan pemberantasan secara menyeluruh terhadap perilaku korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar mesin birokrasinya. Kebijakan renumerasi yang diinisiasi oleh Sri Mulyani terhadap semua badan yang berada dibawah koordinasi Departemen Keuangan tidak lebih dari sekedar pemborosan anggaran, bila tidak diimbangi dengan megaproyek pembangunan infrastruktur. Tanpa suatu peningkatan kerja produktif dan efisiensi, renumerasi sejatinya hanya mendorong pembangunan sebuah kasta baru birokrat korup. Terlebih lagi, dana renumerasi tersebut berasal dari utang Bank Dunia sebesar RP 12,9 Triliun dalam APBN Tahun 2010. Buruknya kinerja birokrasi pelayanan publik merupakan suatu isu yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari seluruh elemen bangsa. Sebab, sekecil apapun kesalahan yang dibuat dalam pelayanan publik akan memiliki ekses dan implikasi yang mencakup kehidupan ekonomi dan politik rakyat kebanyakan. Disinilah, gerakan amanah pembayar pajak sebenarnya dapat di jadikan sebagai momentum bersama untuk semakin memperkuat dan memperluas barisan rakyat dalam rangka membangun sebuah alternatif baru dalam menjawab kegagalan reformasi selama ini. Kita dapat saja mengkorelasikannya dengan aksi May Day dengan mengatakan bahwa renumerasi bagi pegawai kantor pajak adalah pemborosan, naikkan upah buruh 100 persen, PHK semua birokrat korup, boikot bayar pajak bila sistem outsourching tidak dihapuskan, dsb. Gerakan amanah pembayar pajak dapat mengkonsentrasikan kekuatannya untuk merobohkan tiang-tiang neoliberalisme dimana para mafia Berkeley, Boediono dan Sri Mulyani, merupakan tiang penyangga utamanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter